Kecerobohan yang membuat pendaki mati di gunung
Mendaki gunung kini menjadi tren. Banyak orang
ramai-ramai ikut merayakan tahun baru di puncak-puncak gunung. Melihat matahari
terbit untuk pertama kalinya bersama lautan awan dari puncak-puncak tertinggi.
Sayangnya banyak orang mendaki tanpa persiapan dan
kemampuan teknis yang cukup. Mereka yang bukan pendaki gunung melakukannya
sekadar untuk hura-hura. Karena tak paham aturan, seenaknya saja mencoreti
batu. Mengukir nama-nama mereka di pohon serta memenuhi gunung dengan sampah.
Mendaki gunung masuk kategori olahraga berbahaya.
Tapi para pendaki pemula memasabodohkan bahaya. Demi memasang foto-foto di
sosial media, mereka pergi ke gunung. Tanpa persiapan, asal-asalan dan
seringkali sembrono
Sikap sok jagoan ini nyaris selalu
menjadi penyebab utama musibah pada pendaki pemula. Dengan alasan mencari
tantangan, para pendaki pemula ini mencari jalur di luar jalur resmi.
Parahnya, seringkali mereka melakukannya tanpa kemampuan navigasi yang baik.
Jangankan GPS dan peta topografi, sekadar kompas pun tak bawa. Lalu apa yang
diandalkan?
Maka petualangan mereka pun biasanya berakhir di dasar jurang, mati kedinginan
di lembah atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit.
Membuka jalur baru juga berarti merusak konservasi. Mengganggu hidupan liar dan
ekosistem. Para pendaki berpengalaman tak akan melakukannya selain untuk
kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Maka petualangan mereka pun biasanya berakhir di dasar jurang, mati kedinginan
di lembah atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit.
Membuka jalur baru juga berarti merusak konservasi. Mengganggu hidupan liar dan
ekosistem. Para pendaki berpengalaman tak akan melakukannya selain untuk
kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Maka petualangan mereka pun biasanya berakhir di dasar jurang, mati kedinginan
di lembah atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit.
Salah satu masalah pendaki pemula adalah
buruknya manajemen logistik. Dalam pikiran mereka, mendaki gunung identik
dengan mie instan.
Hal ini salah besar. Mendaki gunung adalah kegiatan berat. Butuh kalori hingga
4.000 kkal per hari. Bayangkan dengan aktivitas sehari-hari yang rata-rata
hanya membutuhkan 2.000 kkal per hari.
Kebutuhan kalori yang besar ini didapat dari daging-dagingan berlemak,
coklat dan karbohidrat. Tentu bukan mie instan yang sulit dicerna tubuh dan
menyerap air dalam tubuh.
Seringkali para pemula mendapati nasi yang ditanak tak matang sempurna. Maka
kombinasi makanan mereka jadi nasi keras, mie instan dan ikan asin. Karena tak
nikmat, napsu makan pun berkurang. Padahal tubuh butuh banyak masukan untuk tenaga dan menjaga suhu agar tetap hangat.
Dalam kondisi lemas dan lapar inilah sering terjadi kecelakaan. Kurangnya
konsentrasi, pingsan hingga kematian.
Packing atau mengepak barang dalam
ransel adalah seni yang harus dikuasai pendaki gunung. Seluruh barang bawaan
harus masuk ke dalam ransel. Karena medan sulit, tak boleh ada yang tergantung
di luar ransel selain botol air minum. Tangan harus bebas karena memegang
walking stick atau berpegangan meniti akar-akar pohon jika dibutuhkan.
Maka lihatlah para pendaki pemula. Dengan panci digantung ke ransel.
Tangan menenteng sleeping bag atau jaket.
Ransel mereka tak dilapisi lagi dengan cover bag. Pakaian di dalam ransel tak
dilapis plastik.
Jika hujan, semua pakaian, jaket dan sleeping basah. Padahal sangat
penting menjaga pakaian ganti tetap kering. Tidur dengan keadaan basah bisa
mengakibatkan hipotermia. Inilah penyebab utama kematian seorang pendaki gunung.
Suhu tubuh turun karena kedinginan.
Jangan pernah anggap enteng mengepak barang. Ini yang sering dimasabodohkan
pendaki pemula.
Membawa Rombongan besar dianggap lebih baik. Padahal salah besar. Rombongan besar
justru merepotkan. Makin sulit membagi logistik dan mengatur manajemen
perjalanan.
Bayangkan butuh berapa kompor lapangan untuk memberi makan 27 orang itu?
Lalu perlengkapan P3K? Siapa ketuanya? Apakah dia benar-benar berwibawa untuk
mengatur 27 orang itu?
Masalah yang sering muncul adalah banyaknya konflik. Keinginan anggota
yang beraneka ragam dan sikap intoleransi.
Pendakian ideal, beranggotakan 4 sampai 6 orang pendaki. Pilihlah satu
orang untuk memimpin pendakian. Bukan karena dia ketua, tapi memang memiliki
watak bisa diandalkan dan leadership.
Hipothermia disangka Kesurupan . Pendaki pemula mendaki tanpa ilmu.
Berbekal semangat dan tanpa perlengkapan memadai mereka nekat mendaki gunung.
Karena tidak tahu ilmu P3K, maka sering terjadi salah kaprah. Pada
penderita hipotermia, korban akan menggigil dan kehilangan kesadaran. Lalu
mulai bicara melantur.
Karena nyerocos tak karuan dan sukar diajak komunikasi, teman-temannya
menyangka si korban kesurupan. Mereka malah membacakan doa untuk mengusir
setan.
Seharusnya, segera lakukan pertolongan. Ganti pakaiannya dengan pakaian
kering. Masukkan dalam sleeping bag yang sudah dihangatkan. Taruh juga beberapa
botol air panas di dalam sleeping bag itu. Jaga kondisi lingkungan tetap
hangat.
Jika sudah membaik beri makanan hangat sedikit demi sedikit. Hindari
memberi kopi atau minuman keras.
Ciri khas pendaki pemula, apalagi yang
masih berusia muda adalah selalu bergerak dengan cepat. Mereka selalu
tergesa-gesa, menjadikan naik gunung seolah lomba lari ke puncak. Malu menjadi
yang paling belakang, karena sering dianggap sebagai yang terlemah.
Karena itu biasanya waktu tempuh ke puncak lebih singkat. Baru setelah
perjalanan turun, aneka masalah datang. Kehabisan tenaga, cidera otot hingga
kecelakaan dan kehilangan arah menjadi ancaman.
Idealnya, ada seorang sweeper yang berjalan paling belakang. Biasanya orang ini
yang paling kuat dan bisa diandalkan. Tugasnya menyapu seluruh anggota tim. Memastikan
tak ada yang keteteran atau tertinggal di belakang.
Namun dalam rombongan pendaki pemula, tak ada yang mau menerima tugas ini. Jadi
sweeper dianggap hina. Menjadi paling pertama sampai puncak dan pertama turun
ke kaki gunung jadi tujuan utama.
"Aku si cepat. Tanpa sadar kutinggalkan sahabatku yang kelelahan mati di
gunung."
Ciri khas pendaki pemula, apalagi yang masih berusia muda adalah selalu bergerak dengan cepat. Mereka selalu tergesa-gesa, menjadikan naik gunung seolah lomba lari ke puncak. Malu menjadi yang paling belakang, karena sering dianggap sebagai yang terlemah.
Karena itu biasanya waktu tempuh ke puncak lebih singkat. Baru setelah perjalanan turun, aneka masalah datang. Kehabisan tenaga, cidera otot hingga kecelakaan dan kehilangan arah menjadi ancaman.
Idealnya, ada seorang sweeper yang berjalan paling belakang. Biasanya orang ini yang paling kuat dan bisa diandalkan. Tugasnya menyapu seluruh anggota tim. Memastikan tak ada yang keteteran atau tertinggal di belakang.
Namun dalam rombongan pendaki pemula, tak ada yang mau menerima tugas ini. Jadi sweeper dianggap hina. Menjadi paling pertama sampai puncak dan pertama turun ke kaki gunung jadi tujuan utama.
"Aku si cepat. Tanpa sadar kutinggalkan sahabatku yang kelelahan mati di gunung."
0 Response to "Kecerobohan yang membuat pendaki mati di gunung"
Post a Comment